Guci terletak di kaki Gunung Slamet bagian Utara, dengan
ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan air laut mempunyai udara yang
sejuk dengan suhu sekitar 20 derajat celcius. Cerita tentang GUCI berawal dari
sebuah pedukuhan yang bernama Kaputihan. Kaputihan berarti yang belum tercemar
atau masih suci, yang berarti daerah Kaputihan belum tercemar oleh agama dan
peradaban lain. Istilah Kaputihan pertama kali yang memperkenalkan adalah
Beliau yang dikenal dengan Kyai Ageng Klitik (Kyai Klitik) yang nama
sesungguhnya adalah Raden Mas Arya Hadiningrat asal dari Demak. Setelah Beliau
Kyai Klitik menetap dan tinggal cukup lama di Lereng Gunung Slamet (kampung
Kaputihan) maka banyak warga yang berdatangan dari tempat lain sehingga kampung
Kaputihan menjadi ramai.
Suatu ketika datanglah Syech Elang Sutajaya utusan Sunan
Gunungjati (Syeh Syarief Hidayatulloh) dari pesantren Gunungjati Cirebon untuk
syiar islam. Dan
kebetulan di kampung Kaputihan sedang terjadi pagebluk (bencana alam, penyakit
merajalela, tanaman diserang hama dsb), sehingga Beliau Elang Sutajaya memohon
petunjuk kepada Alloh SWT dengan semedi kemudian Alloh SWT member petunjuk,
supaya masyarakat kampung Kaputihan meningkatkan iman dan taqwanya kepada Alloh
SWT dengan menggelar tasyakuran, memperbanyak sedekah dan yang terkena wabah
penyakit khususnya gatal-gatal agar meminun air dari kendi (Guci) yang sudah
dido’akan oleh Sunan Gunungjati.
Dalam kesempatan itu pula Sunan Gunungjati berkenan
mendo’akan sumber air panas di kampong Kaputihan agar bisa dipergunakan untuk
menyembuhkan segala penyakit. Semenjak itu karena kendi (guci) berisi air yang
sudah dido’akan oleh Sunan Gunungjati ditinggal dikampong Kaputihan dan selalu
dijadikan sarana pengobatan. Maka sejak saat itu masyarakat sekitar menyebut-nyebut
Guci-guci. Sehingga Kyai Klitik selaku Kepala Dukuh Kaputihan Merubahnya
menjadi Desa Guci, dan Beliau sebagai Lurah pertamanya.
Guci peninggalan Elang Sutajaya itu berada di Musium Nasional setelah pada pemerintahan Adipati Brebes Raden Cakraningrat membawanya ke Musium.
Guci peninggalan Elang Sutajaya itu berada di Musium Nasional setelah pada pemerintahan Adipati Brebes Raden Cakraningrat membawanya ke Musium.
AKSES
Dari arah Semarang, pengunjung dapat menggunakan bus jurusan Semarang-Tegal. Setelah sampai di Terminal Tegal, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum (minibus) menuju Desa Tuwel yang memakan waktu sekitar 30 hingga 45 menit. Dari Tuwel, perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan bak terbuka menuju Guci. Dengan kendaraan tersebut, perjalanan sekitar 30 menit dengan ongkos Rp 5.000 akan mengantar pengunjung sampai tempat wisata GUC
Dari arah Semarang, pengunjung dapat menggunakan bus jurusan Semarang-Tegal. Setelah sampai di Terminal Tegal, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum (minibus) menuju Desa Tuwel yang memakan waktu sekitar 30 hingga 45 menit. Dari Tuwel, perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan bak terbuka menuju Guci. Dengan kendaraan tersebut, perjalanan sekitar 30 menit dengan ongkos Rp 5.000 akan mengantar pengunjung sampai tempat wisata GUC